Oleh : Tarmizi, Bsc., S.Pd
Jajan
bagi masyarakat bangsa kita sudah
menjadi kebiasaan,
bahkan dapat dikatakan sebagai bagian dari pola
makan bangsa In-
donesia. Selain berfungsi sebagai selingan, jajan
berperan menja-
di sarana peningkatan
gizi. Misalnya yang paling efektif
adalah
bakso dan
sate, jenis makanan yang banyak digemari baik di kota
maupun
di desa. Secara tidak disadari
pedagang bakso dan sate
keliling, secara tidak disadari kebutuhan gizi
masyarakat terpe-
nuhi walau takarannya baru sebagian kecil. secara
tidak langsung
para
pedagang tadi memasyarakatkan
daging sapi kepada seluruh
lapisan masyarakat.
Berbagai jenis fast-food sudah
menggejala pada masyarakat
kota
besar. Jenis makanan impor ini
memberi warna baru
dalam
variasi
penduduk kota, bahkan beberapa pengusaha
makanan dalam
resep dalam
negeri telah mencoba menunya menjadi fast-food
yang
sedap. Selain menjadi snack, aneka fast-food juga
berperan menjadi
menu pokok, nilai kalori dan nilai gizinya bisa
diandalkan untuk
pemenuhan gizi sehari hari, terutama bagi masyarakat
yang sibuk.
Menurut Dr.Gandung Hartono dari
Direktorat Pemberantasan
Penyakit menular dan Penyehatan Lingkungan dan
Pemukiman Depkes,
munculnya kasus kesakitan adakalanya disebabkan memakan
jajan
tercemar.
Para konsumen kurang memperhatikan kebersihan makanan
yang mungkin telah basi, tercemar bakteri,
teroksidasi unsur kimia
serta zat organik karena adanya bahan aditif
(pengawet, pewarna,
pemanis,
pengental). Banyak penjaja makanan di sembarang tempat
seperti
dekat sampah, dekat selokan, di
pinggir jalan yang
berdebu atau makanan itu sendiri yang tidak ditutup.
Mengatasi kebiasaan jajan pada anak.
Yang
paling banyak diantara pejajan adalah anak-anak sekolah
dan
balita. Untuk mengatasi atau mengurangi
kebiasaan jajan
dianjurkan beberapa cara.
1. anak diajari memilih jajan yang bersih dan jenis
makanan yang
aman.
2. anak diberi sarapan atau makan pagi dulu sebelum
berangkat ke
sekolah, kalau dapat bervariasi jenisnya agar mereka
tidak
bosan.
3. membekali anak dengan kue-kue ke sekolah (kalau
dapat).
4. Pulang sekolah mereka disuguhi buah-buahan atau
yang lain.
Adanya zat yang berbahaya dalam makanan
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
pernah mengadakan
pengujian terhadap berbagai jenis makanan jajanan
yang dijajakan
di Sekolah beberapa SD di wilayah Jakarta Selatan.
Ternyata, ba-
nyak
makanan jajanan yang menggunakan zat
pewarna berbahaya
seperti Methanyl Yellow dan Rhodamin yang bersifat
racun dan ber-
bahaya bagi pertumbuhan seseorang. Melalui pengujian
pada labora-
torium PPMB Departemen Perdagangan, YLKI juga
menemukan beberapa
zat pewarna
untuk tekstil , pewarna tembok pada beberapa
jenis
makanan seperti manisan kedondong, es campur, limun
dan beberapa
kue
warna-warni. Pada jenis makanan
seperti makanan seperti
empek-empek, pisang molen, mie ayam, pangsit dan
batagor dijumpai
bahan
pengawet berupa formalin dan boraks. Depkes melalui
BPOM
Surabaya,
Semarang, Samarinda, Banjarmasin, Palembang dan Pekan
Baru menyita
garam bleng yang dipakai untuk
pembuatan kerupuk,
mie,
bakso atau otak-otak, karena ia
dicampur dengan pengawet
boraks.
Boraks umumnya dikenal sebagai
pembersih dan pengawet
kayu, untuk solder atau kosmetik dengan kemurnian
tinggi. Boraks
mulai
dilaporkan beracun sejak 1883,
namun di Indonesia masih
dipakai sebagai pengawet pada makanan.
Keracunan melalui makanan
Formalin adalah
zat yang mengandung
alkohol sebagai
penghiolang
bau, antiseptik dan
fumigan. Di labor
formalin
dipakai
sebagai pengawet hewan dan di
kamar mayat rumah sakit
sebagai pengawet mayat. Ternyata beberapa produsen
mie yang tidak
mengerti
akibat penggunaan bahan terse-but untuk pembuatan mie,
padahal injeksi 3 ons formalin dapat menyebabkan
kematian dalam 3
jam. Baik melalui injeksi ataupun oral akan cepat
bereaksi dengan
lapisan lendir saluran pencernaan dan saluran
pernafasan. Secara
cepat teroksidasi menjadi asam format terutama di
organ hati dan
sel darah merah.
Keracunan
formalin dapat dilihat gejalanya, yaitu rasa sakit
disertai
muntah-muntah, depresi susunan
syaraf atau kegagalan
peredaran
darah, muntah darah dan lebih parah lagi dapat menye-
babkan
kematian. Begitupun dengan
penumpukan boraks di dalam
tubuh, secara klinis dan patologis menyerang syaraf
pusat, sistem
pencernaan ginjal, hati dan kulit. Boraks dapat
terserap melalui
selaput
lendir atau kulit terluka, beberapa jam kemudian timbul
gejala
keracunan. Dalam tes
terhadap orang-orang dewasa,
penyuntikan
20 gram boraks mengakibatkan
muntah-muntah, diare,
dan gangguan mental beberapa hari.
Pengendalian
Produsen
atau pedagang belum tahu bahaya pengawet,
pewarna,
dan pemanis sintetis. Dalam hal ini peranan
pemerintah diperlukan
dalam
memberikan penyuluhan, terutama terhadap
pedagang kecil.
Contohnya
pada label "sakarin" tidak
dicantumkan bahaya
penggunaan pemanis buatan ini terhadap orang
normal, seolah-olah
hanya
campuran gula biasa,
padahal hanya dianjurkan
bagi
penderita
kencing manis (diabetes), atau orang yang perlu diet.
Departemen
Perindustriaan hanya
menargetkan 600 ton
pemanis,
namun di nlapangan
ada 11 pabrik
yang memproduksinya dan
akibatnya tiap tahun kelebihan 5.500 ton. Pedagang
dan pengelola
makanan
memenfaatkan ini menghemat biaya, walau dalam pengujian
diketahui
sakarin (natrium sakaroida) maupun sarimanis (natrium
siklamat) menyebabkan tumor pada kandungan kemih
tikus.
Sekarang
kita tak usah terlalu cemas, dan marilah kita
sam-
but gembira
usaha dari Kanwil Kesehatan Jakarta, yang sudah
dan
akan
meningkatkan penyuluhan kepada pedagang dan produsen tahu,
tempe dan bakso, supaya mereka memperhatikan unsur
kesehatan.
Sebenarnya mereka dapat menggunakan bahan penggantinya yang akan memberi
hasil yang lebih bermutu, lezat dan aman. Penganan tahu akan lebih tahan selama lebih dari 9 hari, jika
kedelainya direndam dulu dalam air 4-7oC, atau akan tahan 6 hari
jika direndam dalam benzoat 0,5%, atau akan tahan 3 hari kalau diren-dam dalam benzoat 1.000 ppm. Sementara
untuk pengganti boraks pengenyal bakso, diusulkan pemakaian potasium sorbat 0,5
hingga 3 gram tiap kg daging.
Referensi :
Majalah Panasea Juli 91,Majalah Panasea Juni 92, Majalah Rumah Tangga
dan Kesehatan 89, Harian Singgalang 18 April 93, Food Chemistry
Fiesher, 69, Kimia Pangan Winarno, 87
No comments:
Post a Comment