Oleh Tarmizi, B.Sc
Tumbuhan
trengguli (Cassia fistula L) berbunga kupu-kupu dan
berbuah polong. Di Sumatera ia juga disebut bak birakhta, sedangkan di jawa
namanya beragam antara lain bobondelan, bubundelang bumbung delan,
bondel tanggoli, trangguli, keok, klohor, kalobur, klobor, dan tengguli. Orang
Kalimantan menyebutnya tilai, sedangkan di
Nusatenggara dan sekitarnya sebagai tanggali, konjur, klowang, nainnain,
babuni, daun besar. Di Sulawesi disebut kayu raja atau pong raja, sedangkan di
Maluku dinamakan papa pauno.
Tanaman ini
berupa pohon setinggi 15-20 a dengan lingkar batang 60-70 cm. Di pulau
Jawa ia biasa ditemukan. tumbuh bersama
tanaman jati, di dataran rendah. Jika
diperhatikan sepintasi, penampilannya mirip tanaman perindang jalan yang juga
bernama Cassia di sekitar Monas Jakarta. Tapi Cassia tersebut berupa perdu.
Bunga trenggali berbentak bunga majemuk, bewarna kuning cerah. Buahnya seperti, buah asam jawa, bewarna
coklat atau kehitaman. Di dalam buah terdapat empulur berasa manis, enak dimakan segar atau dibuat cairan
tanpa dimasak.
Kandungan kimianya
Buah trengguli
alias Cassia fistulae Fructue mengandung zat berkhasiat antara lain turunan
antrakinon, seperti. Rein, asam fistula,
senosid A dan B, gom, tannin, albuminoid, gula. Sedangkan kulit akarnya
mengandung tannin, plobafen, emodin, asam krisofanat.(Depkes RI, 1985).
Dari penelitian
Ali Pratomo Musdradjad, Suwono, Sutjipto dan kawan-kawan diperoleh hasil,
daging buah (khusas yang telah masak) dan daun trengguli berguna sebagai obat
pencahar. Kandungan yang berefek pencahar adalah senyawa antrakinon.
khasiatnya
Dalam buku Tanaman Obat Indonesia (1985)
disebutkan, akar trengguli berkhasiat sebagai pengelat (astringen), dan daging
buahnya untuk pencahar.
Sementara itu kegunaan trenggali sebagai
obat antidemam diuji oleh peneliti dari
Puslitbang Farmasi, Jakarta. Hasilnyaq diperlukan daging buah sebanyak
210 mg/100 gram berat badan untuk mendapatkan efek antipiretik. Sebagai
perbandingan, efek yang bisa didapatkan hanya dengan memberikan acetonal (obat
paten) 30 mg/100 g berat badan.
Obat sakit kepala.
Tidak
hanya buahnya yang berkhasiat, biji trengguli pun dikenal sebagai obat sakit
kepala. Untuk membuktikan efek analgetiknya, Pudjiastuti melakukan penelitian
dengan infus biji dan daging buah trengguli. Melalui penelitian ini,
trengguli dinyatakan termasuk golongan Practically nontoxic (tidak beracun).
Daya
analgetiknya sebanding dengan acetosal dosis 52 mg/kg berat badan pada dosis
120 mg/10 g berat badan infus biji.
Pencahar.
Trengguli sudah dikenal sejak zaman
Belanda. Heyne dalam buku Tumbuhan berguna Indonesia menulis, masyarakat sudah memanfaatkan trengguli mulai dari daun,
bunga,buah, sampai akarnya sebagai obat urus-urus alias pencuci perut atau
pencahar. Selain itu juga untuk pembersih luka
dan bisul. Heyne mencatat, buah trendguli sudah diekspor ke luar negeri
sebagai pencahar.
Obat tetanus.
Sebagai obat
tetanus, trengguli diperlakukan sebagai berikut. Digiling asam trengguli
sebanyak 15 potong sampai halus, kemudian diseduh dengan air panas 1 ½ cangkir
dan tambahkan madu 6 sendok makan. Diremas‑remas dan disaring, lalu diminun 3 kali sehari, tiap kali ¼ gelas.
Obat penyakit kulit.
Khasiat lain
dari trengguli adalah obat penyakit kulit. Penyakit yang mungkin bisa sembuh
oleh ekstrak kulit batang trengguli ialah yang disebabakan oleh bakteri Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa dan Pseudomonas vulgaris.
Perlu pelestarian
Mengobati penyakit
dengan trengguli telah dilakulan sejak lama. Sererti yang dipamerkan pada
pameran di Solo, NY, Ratih- salah seorang
penjual Jamu tradisional menjajakan-asam trengguli. Wujudnya mirip benar
dengan asam jawa yang bewarna kehitaman dan agak lengket, bedanya bau trengguli agak kurang sedap.
Sementara itu
kalangan peneliti farmasi mengusahakan dengan membuat sediaan dalam bentuk
sirup obat. misalnya penelitian
Suwiyomono dari UGM. Hasil seminar Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat
Indonesia VII di Solo memperlihatkan potensi
tanaman ini sebagai bahan obat antidemam, sakit kepala, pencahar, dan
penyakit kulit. Dari itu, tanaman obat yang terancam punah ini perlu
dilestarikan dengan membudidayakannya (Tarmizi, B.Sc 2004).
No comments:
Post a Comment